Thursday, April 15, 2010

TRAGEDI TANJUNG PRIOK JILID 2

 
TRAGEDI BERDARAH MBAH PRIOK, BUNTUT DARI PRIVATISASI KORUP

Tanjung Priok kembali membara. Dan seperti Tragedi Priok 1984, lokasi kejadian 14 April 2010 juga terjadi kawasan Koja. Sebab musabab atau pemicunya memang berbeda, tapi yang menjadi sasaran tetap sama, yaitu umat Islam.

Kalau Tragedi 1984 bermotif politik represif rezim orde baru terhadap Islam, maka Tragedi Priok Berdarah kali ini bermotif ekonomi bisnis, tepatnya ketamakan bisnis kapitalis besar dunia atas wilayah Koja, bekerjasama dan dibantu penuh oleh para pejabat pemerintah pusat dan daerah RI serta BUMN Pelindo II.

Kapitalis besar dunia itu adalah Hutchison Whampoa Group, milik Taipan Hongkong Li Ka-shing, orang terkaya di Asia Timur. Salah satu anak perusahaan grup ini, Hutchison Port Holdings (Grossbeak Pte.Ltd), adalah pemilik 51% saham di Jakarta International Container Terminal (JICT), dan 48% saham di Terminal Peti Kemas Koja (TPK Koja). Saham sisa di dua terminal peti kemas itu dimiliki oleh BUMN Pelindo II. Hutchison mengambil alih saham TPK Koja dari Humpuss Intermuda, yang saat itu berada di tangan BPPN akibat krisis 1998.

Kepemilikan Hutchison Group di dua perusahaan besar terminal peti kemas di Priok ini diperoleh melalui proses privatisasi yang korup di tahun 1999 (JICT) dan tahun 2000 (TPK Koja), penuh kongkalingkong dan sogok. Kapitalis besar dunia yang punya ambisi monopoli pelabuhan besar dunia dibantu penuh oleh para pejabat pemerintah dan BUMN negeri ini, yang dalam otaknya hanya ada pikiran "UANG".

Mungkin ada yang bertanya, apa hubungan antara privatisasi itu dengan Tragedi Priok Berdarah? 

Hubungannya jelas: ketamakan kapitalisme global untuk memonopoli habis bisnis terminal peti kemas (TPK) yang menggiurkan itu. Dan monopoli yang sejatinya ditentang oleh hukum di negara beradab, termasuk katanya negeri ini, ternyata dipertontonkan dengan telanjang oleh Hutchison Group, dibantu Pelindo II. Kepemilikan Hutchison atas dua terminal peti kemas besar itu, termasuk dengan akal-akalan penjualan saham kepada perusahaan berbasis di Mauritius yang ternyata masih satu grup, memang amat kasat mata. 

Mahkamah Agung RI pun telah mengetukkan palu atas permohonan Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU) yang menyatakan telah terjadi monopoli di pelabuhan petikemas Tanjung Priok.

Yang membuat miris, ternyata Hutchison nampak jelas punya niat buruk untuk "membunuh" TPK Koja, yang sebelumnya amat besar memberi keuntungan pada negara. TPK Koja yang awalnya diniatkan sebagai kompetitor bagi JICT, untuk memacu perkembangan di dua perusahaan milik Pelindo itu, kini terus dikerdilkan oleh Hutchison. Dan nampaknya tengah disiapkan untuk mati. Dan anehnya itu dibantu oleh BUMN Pelindo II. Padahal sekitar tahun 1997, TPK Koja pernah disebut-sebut sebagai Boomings Port untuk Asia Tenggara.

PT. Pelindo II membantu ambisi besar Hutchison itu dengan menyempitkan lahan TPK Koja, antara lain  dengan menyewakan tanah disana kepada PT Graha Segara (depo petikemas) dan PT Aneka Kimia Raya untuk Instalasi Tanki Penyimpanan Bahan Bakar cair. Dan yang lebih menggenaskan lagi ada pengalihan lahan untuk perluasan Container Yard PT. JICT ke arah area TPK Koja.

Perluasan PT. JICT dilakukan, dengan nama ‘penyambungan’ dermaga maupun rencana ‘penyatuan’ gate maupun yard (lapangan penumpukan) demi alasan kemudahan Transhipment. Dalam 2 (dua) tahun ke depan PT JICT akan melakukan ekspansi dengan investasi sebesar 166 juta US$. engan ekspansi sebesar itu PT JICT direncanakkan mampu menangani petikemas sebanyak 3.2 juta TEUs setahun., padahal jumlah petikemas yang keluar masuk Tanjung Priok hanya sekitar 3 juta TEUs, hal ini berarti bahwa di Tanjung Priok cukup satu terminal Petikemas saja, yaitu PT JICT. Yang lain silahkan mati saja, termasuk TPK Koja. Maka lengkaplah monopoli Hutchison grup atas pelabuhan terbesar Indonesia ini. 

NAH, ekspansi (perluasan) inilah yang jrencananya akan "memakan" korban makam Al-Habib Hassan bin Muhammad al-Haddad. Sebuah ambisi dan ketamakan kapitalis global yang monopolistik, dibantu para pejabat penjual negara, yang karena menjadikan UANG sebagai tuhan, mereka tidak peduli pada sensitifitas lokal. Demi uang mereka terabas norma-norma kultur religius lokal, hingga akhirnya anak-anak bangsa menjadi korban bergelimpangan.

Sampai kapan ketamakan para kapitalis global itu mengangkangi negara kita? Dan sampai kapan para pejabat negara ini, yang sejatinya dibayar rakyat untuk mengamankan aset negara dan rakyatnya tapi justeru menggadaikannya kepada para kapitalis global yang bertuhan FULUS itu?*

*****



PRIVATISASI KORUP DI PELINDO BERUJUNG MAUT


Proses privatisasi terhadap PT Jakarta International Container Terminal (PT JICT) –anak perusahaan PT Pelindo II- pada tahun 1999 amat sarat dengan aroma korupsi. Banyak pejabat tinggi negara yang terlibat dalam proses ini diduga kuat melakukan korupsi dan kongkalingkong untuk keuntungan pribadi dan Hutchison Whampoa Group, perusahaan Hongkong yang membeli 51% saham JICT.

Namun seperti banyak kasus korupsi lain di republik ini yang melibatkan pejabat-pejabat tinggi negara, proses hukum terhadap para pejabat itu tidak pernah jelas. Setelah ditunda-tunda dan sempat dua tahun dihentikan penyidikannya oleh Kejaksaan, Timtas Tipikor (Tim Pemeberantasan Tindak Pidana Korupsi) Nasional saat itu akhirnya mengumumkan nama-nama tersangka koruptor yang bertanggung jawab atas privatisasi 51% saham PT. JICT itu. Sederet nama besar muncul seperti Herwidayatmo (mantan Ketua Bapepam dan saat itu Deputi Meneg BUMN bidang Privatisasi), Tanri Abeng (saat itu Menteri BUMN), dan Bambang Subianto (saat itu Menteri Keuangan), serta beberapa pejabat PT.Pelindo II, salah satunya adalah Herman Prayitno (saat itu Dirut PT. Pelindo II).

Namun, proses hukum terhadap kasus korupsi ini tak pernah jelas sampai sekarang. Padahal, proses privatisasi itu dinilai banyak kalangan tidak masuk akal karena harga jual JICT yang sangat rendah, hanya US252 juta plus bantuan US$28 juta dalam bentuk bantuan teknologi informasi selama 20 tahun. Sebagai perbandingan, Terminal Peti Kemas Surabaya dengan kapasitas produksi sepertiga dari JICT laku dijual US$365 juta. 

Proses privatisasi ini juga telah merugikan negara trilunan rupiah akibat adanya perjanjian Technical Assistance Know-How and Service oleh Menneg BUMN waktu itu (Tanri Abeng), yang mewajibkan pembayaran imbalan fee kepada Seaport V. sebesar 14,08 % dari laba bersih bulanan. Ini adalah pelanggaran hukum. "Pembayaran fee yang besarnya mencapai 4,5 miliar per bulannya selama 20 tahun ini, jika terus dilakukan maka mengakibatkan kerugian negara mencapai triliunan rupiah," kata Hari Santosa, Sekretaris Jenderal Indonesian Port Watch (IPW), pada 25 Januari 2006.

Privatisasi itu juga yang menjadikan TPK Koja yang semula dicita-citakan menjadi “the most modern container terminal” di Indonesia mengalami derita panjang, dan saat ini tengah menuju kematian, dibunuh pelan-pelan oleh Hutchison Group demi ambisi monopoli di Tanjung Priok. Tentu dengan bantuan para pejabat pemerintah pusat dan daerah serta BUMN Pelindo.

Ketamakan Hutchison Group milik taipan Hongkong Li Ka-shing, yang berusaha melahap seluruh area sekitar Koja, termasuk makam Al-Habib Hassan bin Muhammad al-Haddad, akhirnya memakan korban nyawa anak-anak bangsa dan kerugian material ratusan miliar.*
  








3 comments:

  1. memang tak ada yang salah dikejadian itu
    bukan karna satpol pp ataupun pemerintah
    satpol pp hnya menuruti perintah atasan
    atasan menuruti undang2 yang berlalu
    seharusnya kita harus rasional dalam menjalankan tugas sebagai rakyat indonesia.......
    bila tidak suka dengan negara indonesia kenapa kalian masih tinggal dinegara indonesia ???
    kalian bisa memilih tinggal dinegara yang kalian inginkan ???

    ReplyDelete